SEKS DAN KESEHATAN: Perspektif Tasawuf dalam Bingkai Filsafat

November 26, 2007 pukul 10:11 am | Ditulis dalam khazanah | 4 Komentar
Tag: ,

Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMIE

Mahasiswa yang nakal (kreatif, inovatif, punya imajanasi “gila”) memang kadang merepotkan dosennya. Namun, memang dunia ini dibangun oleh orang-orang yang dianggap “gila” itu!! Maka, bila sang dosen tidak bisa dan tidak pernah berlaku gila, atau bahkan tidak senantiasa gila (anti kegilaan), ia tidak akan pernah menjadi “sebenar-benarnya dosen”.

Mahasiswa yang menggiring dosen-dosennya untuk bicara tentang seks yang (diakui atau tidak) dalam masyarakat akademik UIN masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mahasiswanya sakit karena memiliki hasrat untuk membuka tabir wilayah yang ditabukan. Kedua, masyarakat itu sendiri yang sakit, karena menganggap tabu sesuatu yang alamiah sifatnya. Namun demikian, bagi orang-orang yang memiliki pemikiran kreatif, kontradisk merupakan selalu dijadikan kekuatan dialektis untuk melahirkan pemikiran brilian, gila.

Seks dalam Persfektif Tasawuf
“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”

Tasawuf merupakan cara pandang yang bersifat “monistik”, yaitu cara pandang yang menganggap bahwa seluruh entitas dari realitas merupakan satu kesatuan integral yang secara esensial merupakan perwujudan Ilahi. Tasawuf wujudi al-Hallaj dan Ibn ‘Arabi (serta sufi lain dengan pandangan sejenis) memandang bahwa tidak ada yang bisa disebut wujud kecuali Allah (la wujuda ila Allah). Dan, yang lain selain Allah, kalaupun harus disebut sebagai wujud tak lain hanyalah sebagai wujud “pinjaman”, bukan wujud hakiki. Dengan kata lain, sesutu selain Allah bersandar pada wujud Allah. Konsep tersebut menjadi dasar argumen bahwa segala sesuatu berelasi dengan eksistensi Allah.

“Proses” munculnya yang plural (“makhluk”) dari yang tunggal (Allah) dalam tradisi tasawuf wujudi dikenal dengan “tajalli”. Dari proses tajalli (diambil singkatnya) muncul sifat dan nama tuhan sebagai “al-Kamal”, Yang Maha Sempurna. Dari al-Kamal lahir dua sifat dasar yang menjadi inti dasar karakter seluruh makhluk, yaitu sifat dan nama al-Jamal dan al-Jalal .

Seks (sebagai kebutuhan, kecenderungan, dorongan dan prilaku) merupakan persoalan yang terlahir dari kenyataan “alami’ah” manusia yang secara fisikal ditandai oleh adanya instrumen seksual. Dan, secara psikologis, keberadaan instrumen seksual tersebut (dengan mengabaikan perspekstif kausalitas yang bersifat tautologi) dibangun pula oleh adanya fakultas dan kecenderungan dan kebutuhan psikologis manusia terhadap pemenuhan hasrat seksual tersebut, lust (freud). Secara konsekwensional, karena baik secara fisiologis dan psikologis telah disediakan isntrumen dan daya pendorongnya (drive), maka pemenuhan terhadap hasrat seks merupakan prilaku dan upaya yang harus dianggap sehat. Dan, sebaliknya (menghambatnya) akan beresiko sakit.

Pemilahan Manusia dalam “Paradigma Modern”
Manusia dalam kehidupannya di dunia semesta, secara real mengalami proses pengkutuban. Kenyataan yang mendorong manusia untuk berada di satu sisi dan menapikan sisi yang lain, atau paling tidak menjadikan sisi yang lain sebagai tidak dianggap penting. Dan, khususnya pada era modern, sisi yang dinafikan atau tidak dianggap penting tersebut kebanyakkan adalah sisi ruhaniah. Sisi yang secara teologis disebut sebagai sisi ilahiyah (aspek transenden dari manusia, atau aspek imanen dari Tuhan). Penapian tersebut menjadikan perbedaan atau plutalitas pada manusia tidak menemukan titik temunya.

Fenomena tersebut akan ditemukan secara lebih nyata pada masyarakat yang konstruk sosio-budayanya tidak dibangun di atas (tidak memiliki dasar) konstruk religius. Di barat, sebagai contoh, secara secara stereotif dianggap sebagai pusat kelahiran dan berkembanganya paradigma positivistik– yang tentunya menolak realitas non-alamiah— menjadikan alam sebagai referensi dan tempat kembali dalam menjawab seluruh persoalan kehidupan manuisia. Ketika alam sebagai kenyatan plural dijadikan tempat kembali (referensi) dalam menjawab dan menyelesaikan semua persoalan kehidupannya, maka wajar bila pluralitas dan diferensiasi serta pemilahan dari alam dijadikan aksioma dasar dalam mengidentifikasi serta menilai segala hal, termasuk pluralitas manusia.

Ketika itulah, manusia dipilah dalam pluralitas warna kulit, ras, dan bahkan jenis kelamin. Lebih dari itu, kualitas manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk survive dan kemampuannya untuk “menaklukan” alam, bahkan menaklukan manusia lainnya. Fenomena inilah (barangkali) yang kemudian menajdi dasar munculnya trauma pencapaian kekuasaan di kalangan perempuan. Dalam analisis sosial, budaya, politik dan psikologis dianggap bahwa perempuan mengalami keterterhimpitan oleh trauma kolonialisme dan eksploitasi yang secara umum dilakukan oleh laki-laki, yang secara “kodrati” alam memberikannya tubuh yang lebih kuat. Tradisi kolonialisme dan eksploitasi tersebut, yang telah ada sejak jaman primitif, telah membentuk format budaya sosial manusia untuk memposisikan perempuan di garis belakang dalam pertempuran menalukkan alam dan manusia lainnya.

Pemilahan manusia dalam jenis alamiah (biologis , jenis kelamin), yang telah melahirkan fungsi sosial dan format budaya yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sebagai warisan jaman primitif pada kenyataannya mendapatkan legitimasi ilmiah dari cara pandang modern (positivistik) yang memilih objek (sesuatu) dalam referensi alamiah, natural. Secara tegas laki-laki-perempuan dipilah yang dipijakkan di atas perbedaan struktur refroduksi. Dan, secara biologis kelahiran perempuan dipandang sebagai kerlahiran manusia yang belum selesai.

Selanjutnya, pandangan tersebut, secara kultural melahirkan standar ganda dalam menentukan kualifikasi moral sosial dan budaya. Dimana, sebagai contoh, kualitas peredaban dan sejarah digariskan di atas kemajuan kekuasaan yang dianggap sebagai peradaban laki-laki. Dan, dalam sejarah tersebut perempuan mengambil posisi atau diposisikan sebagai unsur pelengkap atau bahkan sebagai korban kemajuan peradaban.

Paradigma Tasawuf Wujudi
Berbeda dengan pengetahuan saintifik dan filsafat yang cara kerjanya diawali dengan melakukan kategorisasi dan identifikasi terhadap “objek” atau “subjek kajian”, termasuk terhadap “Tuhan” ketika ia membicarakan Tuhan; maka, tasawuf mengawalinya dengan “menerima” melalui proses membuka diri (futuh, Mukasyafah) untuk menerima penampakkan (Tajalli) Tuhan dalam diri manusia dan alam semesta. Manusia dan alam semesta dipahami sebagai tajalli Nama dan Sifat Tuhan dalam alam semesta. Tuhan menjadi referensi, titik pijak, dalam menjadwab semua persoalan. Oleh karena itu, karena seorang sufi merasa hanya sebagai penerima, bukan pencari, maka di antara kaum sufi tidak perna ada pertentangan dan pertumpahan darah. Walau pun jumlah tareqat sangatlah banyak, ribuan.

Pendekatan tasawuf wujudi terhadap manusia maupun alam sebagai realitas partial selalu dipahami dalam paradigma kesatuan yang berpusat pada tajalli Tuhan. Dengan demikian, pluralitas dipahami sebagai kenyataan “semu”, karena secara hakiki pluralitas mensyaratkan adanya kesatuan. Tanpa kesatuan bukan pluralitas (keberbedaan, keanekaan) lagi namanya, akan tetapi keterpisahan (alienasi). Hanya dalam pluralitas keteraturan dan harmanoni bisa terjadi, tidak demikian halnya dalam keterpisahan.

Ibn ‘Arabi melihat bahwa pluralitas pada alam semesta terjadi karena ketidaksempurnaan alam dalam mewadahi sifat dan nama Allah (citra ilahi) sebagai wadah tajalli. Ibn ‘Arabi “berpendapat” (seperti halnya Al-Hallaj) kesempurnaan tajalli Tuhan pada makhluk terjadi ada peringkat insan kamil (“manusia”), karena padanya telah termanipestasi segenap sifat Allah dan asma-Nya. Tajalli Allah dalam alam semesta (selain manusia) tidak mencapai kesempurnaanya karena alam semesta berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak bisa menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusialah citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Ketidaksempurnaan alam semesta sebagai wadah tajalli sifat dan nama Tuhan karena : alam tidak memiliki “dimensi ruhaniah” yang merupakan dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Berbeda dengan manusia, selain merupakan “miatur” dari pluralitas alam semesta (mikrokosmos) ia pun memiliki dimensi ruhaniah, sebagai dimensi “terdekat” dengan Tuhan. Dimensi ruhaniah merupakan dimensi yang mengatasi ruang-waktu (bentuk, form). Dualisme manusia inilah (ruhaniah dan kosmos) yang menjadikan manusia sebagai “bentuk” paling sempurna (ahsan al-takwim). Kenyataan dualisme manusia ini (jasmani-ruhani) menggambar kenyataan yang paling sempurna dari keberbedaan yang menyatu. Penyatuan yang melahirkan pola khidupan dari pribadi yang unik.

Munculnya form atau bentuk, yang diakibatkan oleh “keterpecahan” tajalli sifat dan nama Tuhanpada “pase” tajali suhudi, ketika nama dan atau sifat Tuhan mewujud dalam fenomena yang memiliki sifat saling berpasangan. Manusia, yang salah satu sisinya merupakan bagian integral dari alam semesta (kosmos, mikrokosmos) dan hidup dalam atmosfir kosmos, maka manusia pada akhirnya terjebak pada lautan pluralitas bentuk (ruang-waktu), manusia mengalami pengkutuban. Mansuia lebih terbiasa melihat bentuk (Aristoteles=form), kenyataan dipandang sebagai realitas yang terdiri dari unsur-unsur yang “terpisah-bedakan”. Ketika itulah segala sesuatu dilihat, diukur dan diidentisikasi dengan perbedaan (divergensi), dan bahkan pemisahan-pemisahan (limitasi) bentuk, ukuran dan kuantitas atau jumlah. Bahkan kualitaspun (nilai, esensi) akhirnya dikuantifikasi.

Tasawuf Wujudi Melihat Pluralitas Gender
Tasawuf Wujudi, khsusnya ibn ‘Arabi, memandang bahwa pluralitas alam semesta pada hakikatnya terjadi sebagai akibat dari ketidaksempurnaan alam semesta dalam mewadahi citra Ilahi (nama dan sifat). Citra Tuhan dalam alam mengalami “keterpilahan”, mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan, bahkan dfalam wujud kualitas yang bertentangan. Fenomena kealaman ini pun terjadi pada manusia dalam dimensi ke-kosmos-annya (jasmaniah, biologis). Salah satunya adalah munculnya gendre laki-laki dan perempuan. Pembedaan jenis manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin dan alat penunjang reproduksi lainnya. Sementara secara ruhaniah, tidak ada cerita tentang pembedaan itu, bahkan dari sisi bahasa sekali pun.

Keterjebakkan manusia dalam dimensi plural (ruang-waktu, bentuk) ini menyeret manusia pada kecenderungan melakukan pengkutuban, dan pemilahan. Cara pandang dan cara hidup yang mengkutub ini telah menjadikan tidak seluruh manusia berada dalam tingkatan Insan kamil. Dengan demikian, manusia sebagai wujud yang berada dalam tingkatan insan kamil pada “proses” tajalli Allah pada alam fenomena real, menjadi realitas potensial, karena terhijab atau tertekan oleh perspektif kealaman selama manusia hidup dalam atmosfir alam material. Dengan kata lain, sebenarnya manusia masih memiliki potensi untuk kembali pada kedudukannya sebagai Insan Kamil, wadah Cintra Ilahi. Suatu keadaan yang tidak terjebak oleh pluralitas bentuk (ruang-waktu).

Berpijak pada konsop tajalinya ibn ‘Arabi, kita dapat melihat bahwa nama dan sifat Allah yang pada asalnya merupakan satu kesatuan integral dalam pengetahuan Allah pada tajalli dzati, mengalami “kesatuan-yang-terpilah” dalam tajalli syuhudi. Ketika terjadi tajalli syuhudi pada alam semesta, sifat tuhan mewujud dalam fenomena yang saling berpasangan.

Dunia sufi, diyakini bahwa Tuhan adalah Yang Sempurna, asal dari segala hal dan tempat kembali segala hal (Inna lillahi wa inna ilahi rajiun). Kesempurnaan (Kamal) ini terjelma dalam dua hal: ketakterbandingan dan keserupaan. Ketakterbandingan ini terkait dengan nama-nama Mahakuasa, Maha Tak Terjangkau, Maha Tegas –semuanya terjelma dalam nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (`adl), atau murka (ghadhab).

Sedang Kasempurnaan menjelma menjadi dalam nama-nama keindahan (jamal), atau kelembutan (lathif), atau anugerah (fadhl), atau rahmat. Jika dikategorikan, ketakterbandingan ini bisa disebut sifat Jalal dan kesempurnaan disebut sifat Jamal. Dalam hubungannya dengan manusia, Jalal ini (keagungan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dll) menjadi sifat maskulinitas; dan Jamal (kepasrahan kepada kehendak, kelembutan, dan resepsivitas) menjadi sifat femininitas.

Dunia perempuan dengan demikian adalah dunia Jamal yang menjadi pasangan bagi dunia Jalal. Keduanya berelasi secara harmoni; perpisahan akan menyingkirkan kemungkinan manusia merasakan ke-Kamal-an Tuhan. Pernikahan menjadi cara untuk mendapatkan ke-Kamal-an (kesempurnaan utama) tersebut. Sepeerti halnya penyatuan yang sempurna antara jasad dan ruh pada manusia. Oleh karena itu Islam mengganggap suci dan agung terhadap sebuah pernihakan, keluarga. Karena, melalui pernikahan terbentuk kesatuan yang sempurna antara “laki-laki” dan “perempuan”, yang dari penyatuan itu, manusia akan mampu mewarisi sifat kreator Tuhan. Melalui pernikahan, manusia menjadi co-creator Tuhan.

Contoh sederhana, hanya lewat pernikahanlah manusia bisa mewarisi sifat Creator Tuhan, menjadi co-creator dalam menghasilkan manusia baru. Tanpa pernikahan, manusia tak bisa mencipta anak manusia. Pernikahan sebenarnya adalah model dari apa yang seharusnya dilakukan manusia di ruang sosial yang lebih luas ketimbang keluarga. Artinya bahwa dunia tercipta dalam kesempurnaan jika dan hanya jika kemaskulinan dan kefemininan bersatu dalam ko-relasi harmonis.

Pernikahan meruapakan gambaran tajlli Tuhan yang paling sempurna. Manusia dalam realitas ruhaniah adalah keadaan ahadiayat, dimana ia tidak bisa diidentifikasi dalam pembedaan kategori, kamal. Ia merupakan kenyataan tunggal yang tidak terbatas dalam pengetahuan Tuhan. Dan, ketika ia “turun” kedua dalam manifestasi jasadiah, ia mewujud dalam wujud yang berpasangan, jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki). seperti halnya ketika tuhan bertajali dalam realitas alam semesta; Nama dan Sifat (citra) Tuhan mewujud dalam bentuk yang saling berpasangan, Jamal (kelembutan, kasih-sayang) dan jalal (kekuasaan, keperkasaan).

Namun ada masalah lain, apakah jalal hanya menjadi milik lelaki sebagaimana jamal hanya milik perempuan? Dunia Sufi menyatakan tidak. Ada banyak lelaki yang lebih perempuan ketimbang perempuan, dan sebaliknya.

Kenyataan ruhaniah adalah kenyataan yang sempurna tanpa perbedaan dan keterpilahan karena ia satu, kamal. Pembedaan terjadi hanyalah ketika ia memanifestasi dalam dunia kosmos, manusia menjadi mikro-kosmos, secara jasmaniah. Akan tetapi secara ruhaniah ia tetap sebagai kenyaan kamaliah. Karakteristik psikologis yang sering bering berbeda antara perempuan dan laki-laki lebih di karenakan oleh wadah yang secara biologis “berbeda”. Hal yang kemudian melahirkan perbedaan persepsi dalam fungsi dan peran sosial-budayanya. Namun demikian, keberbedaan tersebut bukan keberbedaan menjadikannya terpilah, akan tetapi keberbedaan yang melahirkan sinergi. Senergi untuk menyatu dan kembali pada posisi awal atau esensinya, sebagai kenyataan ahadiat.

Dengan demikian, tasawuf memandang bahwa secara ruhaniah (spiritual) pemilahan laki-laki dan perempuan secara biologis dianggap semu, yang ada adalah perwujudan kamaliyah ruhani yang memanifestasi menjadi sifat atau karakter jamal (perempuan) dan jalal (laki-laki), seperti ahadiyat tuhan yang bertajali dalam sejumlah nama yang sangat banyak yang saling berpasangan. Bila satu nama disebut itu berarti menyebut nama lain demikian pula nama pasangannya. Maka dalam Islam, tasawuf, penyebutan laki-laki secara maka eksplisit disebutkan pula di dalamnya peremuan, demikian pula sebaliknya. Itulah manusia.

Dunia tasawuf memberikan contoh perempuan yang telah menjadi manusia, karena telah menemukan kelelakian dalam dirinya, ialah Maryam –Ibunda Isa al-Masih– atau Fathimah –putri Rasul. Tentang Maryam Attar mengemukakan: “Jika nanti di Hari Kebangkitan seruan itu disuarakan, “Wahai Kaum Pria!” Maka orang pertama yang melangkah ke barisan kaum pria adalah perawan Maryam.” Abu Yazid mengemukakan hal lain mengenai Fathimah, “Jika seseorang ingin melihat pria tersembunyi di balik pakaian wanita, tampakkan padanya Fathimah.”

Anggapan ini berimplikasi pada penafsiran. Jalaluddin Rumi, Sufi asal Anaatolia, Turki, secara khas, misalnya, memahami semua penyebutan tentang kaum wanita bukan dalam kategori jenis kelamin namun lebih pada penunjukkan sifat negatif yang dimiliki manusia. “Ketika Nabi berkata, tempatkan kaum wanita di belakang, yang dimaksudkannya adalah jiwamu. Sebab ia harus ditempatkan paling belakang, dan akalmu yang paling depan.”

Makna dari apa yang dituliskannya, Rumi jelaskan kemudian dengan tafsir esoterisnya. Ia lakukan ini karena ada banyak kesalahan tafsir orang dalam memahami kata wanita dan lelaki dalam Islam.

Sebuah kisah tentang pria dan wanita telah diceritakan. Anggap itu sebagai perumpamaan dari jiwa dan akalmu.

“Wanita” dan “pria” ini, yakni jiwa dan akal sangat diperlukan bagi eksistensi kebaikan dan kejahatan.

Siang dan malam dalam dunia penuh debu ini adalah dua wujud yang berperang dan bertikai. .

Wanita selalu menghasratkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga –reputasi, roti, makanan dan posisi.

Seperti seorang wanita, jiwa kadang-kadang menunjukkan kerendahan hati dan kadang-kadang mencari kepemimpinan untuk mengobati keadaannya.

Aku sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa tentang pikiran-pikiran ini. Pikirannya hanya berisi kerinduan pada Tuhan.

Dalam pandangan kualitatif ini, seorang “pria” adalah seorang yang akal atau ruhnya mendominasi jiwanya, apa pun jenis kelamin biologis orang itu. Demikian pula seorang “wanita” adalah seseorang yang akal dan ruhnya ditaklukkan oleh kecenderungan-kecenderungan negatif jiwa: ketika langit telah dikuasai secara semena-mena oleh bumi yang “memberat”. Karena menjadi “lelaki” di dunia mistik berarti telah menjadikan jiwanya melayani akal. Orang tidak mungkin menjadi seorang wanita sempurna tanpa lebih dahulu menjadi manusia sempurna.

Dengan kata lain, seorang manusia sempurna dapat menjadi wanita hanya jika dia menjadi “pria” dalam pengertian normatif. Ciri-ciri gender yang khas dari seorang wanita mencapai kesempurnaan dari aktualitas mereka baru setelah dia mencapai kesempurnaannya sebagai manusia (insan Kamil). Wanita juga diciptakan dari citra Tuhan –meskipun dalam bentuk lahiriahnya ia mewujudkan kecintaan, keindahan, belas kasih, kebaikan dan kelembutan Tuhan secara lebih langsung ketimbang seorang pria. Baru setelah ia sendiri sepenuhnya menyatu dengan Tuhan sepenuhnya menyatu dengan Tuhan maka dia dapat menjadi manusia sepenuhnya dan wanita sepenuhnya. Abd Al-Razzaq Kasyani menjelaskan hubungan lelaki dan perempuan dalam perjalanan menuju kesempurnaan:

“Perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya” . Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”

Manusia yang telah mampu mengharmonikan antara unsur jamaliyah dan jalaliyah dalam dirinya ia akan sampai pada derajat Insan Kamil, mansuia sempurna. Manusia yang telah tidak memandang (melihat) aspek-aspek semu dalam dirinya (jasadiah, jenis kelamin). Ia berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, berasal dari ahadiyat kembali pada ahadiyat. Bila telah demikian, maka akan terjadi apa yang dikatakan kaum sufi : barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai: barang siapa yang telah kembali pada dirinya (fitrah) maka ia akan kembali pada Tuhannya. Wallahu‘alam.


PENULIS adalah mursyid LPIK UIN Sunan Gunung Djati

4 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. bagu juga ni idenya

  2. hampir dekatt dgn pemikiran annemarie schimmel?

  3. Tasawuf amali lebih utama dari tasawuf Filsafati

  4. emmm, anda membedakan ruh dan jiwa dengan gaya yang begitu kental dengan aroma patriarki.
    itu pilihan, tapi karena laki2 lah yang membuat pendefinisian baik awal maupun yg anda lakukan sekarang, maka tentunya anda aka membaginya menjadi seperti itu, akan berbeda bila perempuan yang mendefinisikan hal itu….


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.